free hit counter code Dibanding Krisis 1998 dan 2008, Krisis Akibat Pandemi Covid-19 Lebih Parah - JuaraNews Inspirasi Semangat Muda web stats service from statcounter

Hot News


Jabar Juara


Opini


  • RPJPD JABAR 2025-2045
    RPJPD JABAR 2025-2045

    RENCANA Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang.

    Dibanding Krisis 1998 dan 2008, Krisis Akibat Pandemi Covid-19 Lebih Parah
    (Foto: Ilustrasi) Krisis ekonomi akibat Covid disebut Sri Mulyani Indrawati lebih parah dibanding krisis tahun 1998 dan 2008

    Dibanding Krisis 1998 dan 2008, Krisis Akibat Pandemi Covid-19 Lebih Parah

    Jakarta, JuaraNews – Parahnya krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 dinilai lebih parah daripada krisis yang pernah terjadi pada tahun 1998 dan 2008. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati dalam acara UOB Economic Outlook 2023 di Jakarta, Kamis(29/9/2022). Meski demikian, meski belum pulih total, Sri Mulyani menyebut kini pandemi Covid-19 sudah mulai bisa dikelola

    "Scarring effect atau luka memar yang diakibatkan pandemi ini sangat dalam, karena masalah utama di pandemi ini adalah terancamnya jiwa manusia," ujar Sri Mulyani.

    Sri Mulyani mengungkapkan, Covid-19 menjadi momok yang menakutkan karena pada saat itu obat dan vaksinnya belum ditemukan. Maka dari itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan pengetatan aktivitas masyarakat untuk mencegah penyebaran virus ini.

    "Tetapi imbas pengetatan itu adalah lumpuhnya kegiatan ekonomi. Pembatasan-pembatasan tersebut sangat memukul industri dan bisnis di Indonesia, khususnya pelaku usaha kecil, apalagi Indonesia didominasi oleh perusahaan dan kegiatan sektor informal. Itu terpukul sangat dalam, jadi luka dari pandemi bukan hanya karena penyakit," kata dia.

    Menurutnya, hal ini menjadi pembeda yang jelas antara krisis akibat pandemi dengan krisis 1998 dan 2008 yang dicontohkannya.

    "Krisis keuangan di masa itu menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar. Neraca keuangan mereka terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat anjlok sehingga menyebabkan masalah pada sisi liability atau pinjaman," ucapnya.

    Kendati penyebab dan masalahnya berbeda, Sri Mulyani menyebut, pemerintah memiliki cara yang sama untuk menangani masalah yang terjadi, seperti memberikan relaksasi kredit.

    "Karena kita menganggap para peminjam dari lembaga keuangan, terutama bank, pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," ucapnya.

    Tapi, solusi ini saja menurutnya tidak cukup untuk memulihkan luka memar pandemi yang sudah mendalam.

    "Maka itu, pemerintah menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial ke masyarakat serta usaha kecil dan menengah. Misalnya, dengan menggelontorkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH). Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako, bantuan terhadap UMKM, hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp5 juta sebulan," tuturnya.

    Langkah ini diambil pemerintah dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat tergantung pada arus uang harian, dimana arus uang ini sangat terpukul oleh pandemi.

    "Ini yang kemudian Indonesia bisa mengendalikan Covid-19 dan bisa menjaga efek scarring-nya bisa diminimalkan. Indonesia tidak lockdown seperti di China misalnya. Karena kalau sampai lockdown dilakukan secara penuh, dampaknya akan jauh lebih luas," ujarnya.

    Aep

    0 Komentar

    Tinggalkan Komentar


    Cancel reply

    0 Komentar


    Tidak ada komentar

    Berita Lainnya


    Bey Machmudin: Hati-hati, Marak Investasi Bodong
    UPI Siap Jadi Agen Penggerak Pengelolaan Sampah
    Rutilahu Diharapkan Bisa Dikelola oleh Masyarakat
    Buruh Sosialisasikan Putusan MK soal UU Cipataker
    LPI Gelar Diskusi soal Politik Identitas

    Editorial



      sponsored links