free hit counter code Inggit Garnasih, Sosok Perempuan di 'Ambang Pintu' - JuaraNews Inspirasi Semangat Muda web stats service from statcounter

Hot News


Jabar Juara


Opini


  • RPJPD JABAR 2025-2045
    RPJPD JABAR 2025-2045

    RENCANA Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang.

    Inggit Garnasih, Sosok Perempuan di 'Ambang Pintu'
    (istimewa) Inggit Garnasih dan Ir. Soekarno

    Inggit Garnasih, Sosok Perempuan di 'Ambang Pintu'

    • Minggu, 19 Februari 2023 | 22:40:00 WIB
    • 0 Komentar

    JuaraNews, Bandung – Pemprov Jawa Barat kembali mengusulkan Inggit Garnasih menjadi pahlawan nasional. Bagaimana kiprah dari istri ke-2 dari Presiden Soekarno ini?

     

    Inggit Garnasih (17 Februari 1888 – 13 April 1984), adalah sosok yang cukup banyak memberikan pengaruh pada presiden RI pertama, Soekarno. Dialah perempuan baja, seorang istri yang setia mendampingi Soekarno sepanjang masa-masa sulit perjuangannya.

     

    Terlahir di suatu pagi pada 17 Februari 1888, Inggit Garnasih merupakan putri bungsu dari pasangan keluarga sederhana Ardjipan dan Amsi. Semula, nama yang disematkan oleh kedua orang tuanya hanya Garnasih saja. Nama itu merupakan gabungan dari kata hegar dan asih. Hegar artinya segar dan menghidupkan, sedangkan asih artinya kasih sayang. Setidaknya, itulah arti Garnasih seperti yang dituliskan cucunya, Tito Asmara Hadi yang putra dari Ratna Djuami dalam catatannya berjudul Fajar yang Luka.

     

    Hidup dalam kesederhanaan keluarga petani di Desa Kamasan, Banjaran, Selatan Bandung, Garnasih tumbuh menjadi gadis yang luar biasa cantiknya. Tak hanya sekedar cantik, seolah doa atas guratan namanya menjadi nyata, Garnasih begitu banyak dikagumi dan disayangi teman-temannya. Ia gadis periang yang pandai bergaul, dan menjadi ‘kembang’ di desanya.

     

    Sebagai ‘kembang desa”, tentu saja gadis Garnasih menjadi panyileukan para jajaka pada masanya. Mendapatkan senyuman seorang Garnasih, serasa ‘kagunturan madu karagragan menyan putih’. Wajar jika para jajaka yang ‘katelér- katelér’ olehnya berujar, “mendapat senyuman dari Garnasih, sama dengan mendapat uang satu ringgit”, seperti yang dikisahkan oleh Reni Nuryanti dalam Inggit Garnasih: Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih. Dari ungkapan ‘seolah mendapatkan ringgit’ itulah kemudian nama Inggit hadir melengkapi nama Garnasih menjadi Inggit Garnasih

     

    Waktu berlalu, hingga suatu ketika, Inggit Garnasih mulai menjalin hubungan dengan seorang lelaki benama Sanusi. Sayang, cinta keduanya bertepuk sebelah tangan. Keluarga Sanusi yang merupakan terpandang tidak merestui hubungan keduanya. Sanusi dinikahkan dengan perempuan ‘sababad satandingan’, seorang perempuan dari keluarga kaya yang kemudian memberinya dua anak.

     

    Nandang Kosasih dalam bukunya berjudul Senja di Ranah Bandung: Sejarah Singkat Inggit Garnasih, menuliskan dalam kekecewaannya itu, Inggit memutuskan menikah dengan pegawai kantor Residen Priangan berpangkat kopral yang bernama Nata Atmadja pada tahun 1901. Namun, usia pernikahan keduanya tidaklah bertahan lama mereka berpisah tanpa dikarunia keturunan.

     

    Entah suratan takdir atau bukan, Sanusi yang pernah meninggalkan Inggit pun bercerai dari istrinya. Hingga akhirnya, kedua insan yang pernah memadu kasih dan berstatus janda dan duda ini pun menikah.

     

    Sanusi yang saat itu telah menjadi saudagar meubel dan telah melaksanakan rukun Islam ke-5 itu banyak memberikan perubahan pada diri Inggit. Dari H Sanusi yang juga tokoh Sarekat Islam (SI) Jawa Barat, Inggit mulai mengenal dunia politik dan pergerakan kebangsaan. Sayang, seperti hubungan sebelumnya, perkawinan Inggit dan Sanusi harus berakhir pada 1923.

     

    Dua tahun sebelumnya, 1921, Gementee Bandoeng kedatangan seorang pemuda yang kemudian mengokohkan cerita seorang Inggit Garnasih dalam pergerakan kebangsaan. Pemuda asal Surabaya itu, bernama Soekarno. Ia datang di Bandung untuk berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB).

     

    Di Bandung, Soekarno Muda mendatangi kediaman H. Sanusi, ia membawa sepucuk surat dari Tokoh SI, H.O.S. Tjokroaminoto untuk pengurus SI Cabang Bandung, H. Sanusi. Dalam lembaran itu, H.O.S. Tjokroaminoto meminta agar H. Sanusi bisa menerima Sukarno tinggal di kediamannya sebagai anak indekos.

     

    Itulah awal mula pertemuan Inggit dan Sukarno. Sebuah pertemuan yang kemudian menghadirkan ‘rasa’ dari keduanya. Sukarno muda tertarik pada Inggit.

     

    “Berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas dikelilingi oleh cahaya lampu dari belakang. Perawakanya kecil, sekuntum bunga mawar merah melekat di sanggulnya dan suatu senyuman yang menyilaukan mata.... Segala percikan api, yang dapat memancar dari seorang anak 20 tahun dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan berumur 30-an yang sudah matang dan berpengalaman,”  tulis Cindy Adam dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

     

    Setelah waktu berganti. Berbagai kejadian telah terlewati. Kian hari Sukarno semakin merasa yakin dengan Inggit. Hingga pada suatu malam di kediamannya, kedua bola pasang mata bertemu, Sukarno menyatakan, “Aku cinta padamu”.

     

    Sukarno ingin mengawini Inggit Garnasih yang kala itu masih berstatus istri dari H. Sanusi. Namun Inggit yang berpaut 13 tahun dari Soekarno itu tak kuasa menolak rayuan pemuda di hadapannya. Dirinya merasakan hal yang sama. Akhirnya keduanya menikah, setelah melewati berbagai kejadian dan perjanjian.

     

    Inggit dan Soekarno resmi menikah 24 Maret 1923. Selama menjadi istri Soekarno, Inggit selalu berada di sampingnya. Dialah yang menemani, mendukung, dan mengantarkan Sukarno ke gerbang impiannya. Tatkala Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, Inggitlah yang menjadi orang pertama yang mendukungnya.

     

    Inggit juga menemani Sukarno saat terlunta-lunta di pembuangan, jauh di pulau Ende kemudian ke Bengkulu. Ia juga yang memberikan semangat ketika Sukarno dikurung dari penjara ke penjara.

     

    Sayang, ikatan cinta itu harus menepi ketika Indonesia mendekati ambang kemerdekaan. Saat itu, Sukarno meminta izin untuk memadu Inggit. Sukarno berkehendak menikahi perempuan lain, Fatmawati. Terang saja, pendamping ‘Putra Sang Fajar’ ini berkeras menolak dimadu. Ia pun meminta dipulangkan ke Bandung. Ia tidak rela jika cintanya harus terbagi. Hingga akhirnya Inggit pun dipulangkan ke Bandung.

     

    Inilah gurat, sebuah jejak panjang atas peran wanita baja anak petani. Inggit Garnasih, seorang perempuan yang layak menjadi panutan bagi bangsa yang juga telah dirintisnya.(*)

    Oleh: Aep Ahmad Senjaya / Aep

    0 Komentar

    Tinggalkan Komentar


    Cancel reply

    0 Komentar


    Tidak ada komentar

    Berita Lainnya


    Api di Pendopo Kecamatan Bekasi Selatan Padam
    Mahasiswa Laporkan Herkos ke Bawaslu Kota Bekasi
    Terciduk Istri Herkos Diduga Kampanye di Musholla
    Ini Daftar Nama 5 Pimpinan DPRD Jabar yang Baru
    Ratusan Ulama Kota Bekasi Siap Menangkan RIDHO

    Editorial



      sponsored links