OLEH IMAM WAHYUDI
SOSOK wartawan sejati itu telah pergi. Memenuhi panggilan Illahi. Oce Permana (71) pernah berkiprah di koran "Bandung Pos". Wafat saat senja Rabu kemarin, 18 Januari 2023.
Ya, wartawan sejati. Almarhum tak kenal lelah menekuni profesi "kuli tinta". Lebih dari separuh usianya. Selepas koran almamaternya "tutup buku" pada jelang tahun 2000, Oce lanjut menggeliat. Tak seperti kebanyakan alumni "Bandung Pos" yang memilih tiarap. Menunggu ajakan atau peluang lain yang mungkin ada.
Oce Permana justru bangkit mandiri. Melanjutkan kelola Tabloid "BOM" yang digagas sohibnya, Omay Komar bareng Aat Suwangsa (alm). Omay Komar sebagai pemred, Aat jadi pemimpin umum dan Oce didapuk pemimpin perusahaan.
Omay yang jebolan Harian Mandala mengawali penerbitan "BOM" pada 1999. Setahun kemudian, mengajak Oce bergabung -- menyusul Bandung Pos stop terbit. Pada 2022, Omay mendorong Oce dan Aat melola secara mandiri. Omay bersama Hikmat Kusumaningrat (alm), eks pemred tabloid Bola menerbitkan tabloid Xpose. Penerbitan berkala yang tak berlanjut.
Benar keyakinan Omay, bahwa Oce mampu mengembangkan "BOM". Singkatan dari "Bacaan Orang Muda". Nama koran itu mampu mencuri perhatian khalayak Kota Bandung dan sekitarnya.
Oce Permana dan Omay Komar bagai "setali mata uang". Semasa sejawat, seiring sejalan. Lantas populer dengan sebutan Trio OMO. Bersama sohib lainnya, Martin Wiriadi (harian Merdeka). Ya, Trio OMO (Oce, Martin dan Omay). Martin sudah lebih dulu wafat pada usia relatif muda sekira 1992.
Almarhum Oce Permana punya "kepatuhan" terhadap profesi yang kadung dicintainya. Berselancar di antara ombak persaingan antarmedia. Para sejawatnya pun tak menduga akan langkahnya. Pendek kata, tak terbayang -- "sekelas" Oce mau dan bisa kelola media cetak secara mandiri. Bila sebelumnya, cukup peliputan dan menyusun berita -- kali ini menuntut totalitas.
Oce berani mencoba dan membuktikan, bahwa punya talenta lebih dari sekadar. Langkah tak mudah bagi perseorangan. Penerbitan yang dimungkinkan oleh pesero. Oce menjawab ketidakmungkinan itu. Luarbiasa!
Kerja keras dengan bantuan istrinya, BOM pun secara bertahap mampu unjuk eksis. BOM terbilang (cukup) meledak. Karuan, nama Oce berkibar. Tak kecuali di kalangan stake holders tingkat pemerintah daerah.
Sebelum tiga dekade silam, namanya identik dengan Bandung Pos. Pun saat menyebut Bandung Pos, kerap terkait nama Oce Permana. Itu lantaran, dia selalu beredar di lapangan. Spesifik untuk peliputan berita kriminal. Peredarannya di seputar kinerja kejaksaan, kehakiman dan kepolisian. Populer dengan sebutan wartawan Kejakimpol. (menginspirasi media online Kejakimpol.com yang digagas Maman Supaman, eks Galamedia - pen).
Trio OMO
Hingga akhir hayatnya, Oce Permana tercatat sebagai pengurus PWI Jabar. Hingga akhir hayatnya, menjabat Ketua Asosiasi Futsal Kota Bandung dan Ketua Bidang Humas KONI Kota Bandung.
Semasa PWI Jabar berkantor di Jalan Asia Afrika 73 Bandung, kami kerap bertemu. Bercanda di antara obrolan berita aktual. Biasanya jelang sore hingga malam. Sesekali bermain remi.
Kala itu era kepemimpinan Yayat Hendayana. Sekretariat PWI Jabar di pusat kota itu nyaris tak pernah sepi. Kerap dengan kehadiran Trio OMO. Utamanya saat persiapan Kontingen PWI Jabar ke ajang Porwarnas III/1988 di Padang. (Penulis mendesain jaket tim dengan memadukan logo cabor yang dipertandingkan menjadi kata JABAR).
Trio OMO punya minat sama dalam bidang peliputan. Berita kriminal. Karuan, mereka seiring sejalan. Ke mana pun pergi dan singgah. Maaf, saya yang mencetak sebutan Trio OMO itu. Sekali lagi, Oce - Martin - Omay. Pada 1985, saya gelar tasyakuran rumah baru di Permukiman Riung Bandung. Mengundang para sejawat. Demi efisiensi, saya menuliskan Trio OMO di lembar undangan. Tentu, untuk ketiga sohib : Oce, Martin dan Omay. Sejak itu, sebutan Trio OMO tak pernah surut. Bahkan hingga kini akhir hayat almarhum.
Persahabatan Lama
Trio OMO, utamanya Oce Permana dan Omay Komar menjalin persahabatan. Bahkan sepeninggal rekannya, Martin. Tak sebatas dalam profesi. Rupanya jauh sebelum mereka berprofesi wartawan. Saat terbaring di RS Al-Islam, Omay masih sempat besuk. Pada 13 Januari lalu, atau dua hari jelang keberangkatan ibadah umroh. Omay kini berada di Jeddah -- mengabarkan, tengah bersiap menuju Mekah.
Dalam percakapan sambungan internasional, Omay meluangkan waktu. Berkisah Ikhwal "perkawanan dan persahabatan" dengan almarhum.
Berikut ungkapannya: "Banyak orang mengira, saya dekat dengan almarhum -- saat dia mulai jadi wartawan sekira tahun 1976-an. Padahal, saya kenal dengan almarhum -- sejak saya duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat), dan berjualan koran di Alun-alun Bandung. Oce juga sama, dulunya penjual koran -- yang rumahnya dekat -- di Gang Cikapundung. Saya dan Oce dipertemukan kembali saat saya menjadi wartawan/redaktur di Harian Mandala. Saat itu, Oce menjadi opmarket untuk koran Sunda Giwangkara Dan di saat itulah, Oce menyatakan kepada saya -- keinginannya untuk bekerja sebagai wartawan. Dan sejak itu pula, saya ajak almarhum untuk melakukan getting dan mencari tahu bagaimana cara membuat berita. Tekad almarhum memang kuat...."
Sekuat semangat langkahnya berprofesi wartawan. Tak lekang oleh waktu. Tak surut "melawan" zaman. Selamat jalan, sang Wartawan Sejati.***
Imam Wahyudi (IW), jurnalis senior di bandung
ude