JuaraNews, Bandung– Kepemimpinan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) genap berusia 100 hari pada 30 Mei 2025 lalu.
Sekretaris Forum Parlemen Jabar 2009 – 2014 sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Publik UF Center menilai, kebijakan yang diambil KDM masih pada tataran kebijakan intuitif atau kebijakan yang diambil berdasarkan firasat, naluri, atau insting atau tanpa melibatkan pemikiran rasional atau analisis yang mendalam.
Menurutnya, hal Ini sangat berbeda dengan kebijakan yang didasarkan pada data, penelitian, atau analisis yang hati-hati yang mengacu pada aturan yang telah ada yaitu UU No. 23 tahun 2014 dimana penyelenggara pemerintahan ditingkat daerah adalah gubernur dan DPRD Jabar yang pelaksanaan nya gubernur dibantu oleh Wakil Gubernur , Sekda , OPD dan SKPD.
“Seperti halnya bagaimana kebijakan KDM dalam menuntaskan, angka Putus Sekolah di Jabar yang menjadi kewenangan provinsi hampir 61.000 0rang anak putus sekolah,” ujar dalam acara Sarasehan Kaukus Ketokohan Jawa Barat belum lama ini.
Selanjutnya, bagaimana menyediakan ruang kelas baru yang masih memerlukan perhatian besar. Kemudian penyedian infrastruktur kesehatan dasar di desa desa yang jauh dari pelayanan rumah sakit.
Baca Juga:Forum Parlemen Jabar Dukung DPRD Panggil OPD Terkait Kebijakan KDM
Selain itu, mengatasi pengangguran dengan menyiapkan lapangan kerja yang banyak. serta kebutuhan infrastruktur jalan , jembatan dan irigasi yang menjadi kewenangan provinsi dalam 5 tahun kedepan yang tersusun dalam roadmap jabar melalui RPJMD dan RKPD yang ada dengan dukungan anggaran APBD yang tersedia sehingga hasilnya dapat terlihat dari indikasi peningkatan IPM ( pendidikan , kesehatan dan daya beli masyarakat ) secara keseluruhan.
Belum kelihatan bagaimana kebijakan nya
Forum parlemen menilai kebijakan yang diambil Dedi Mulyadi tersebut dengan mengedepankan intuitif atau berdasar pada firasat , naluri atau insting sangat berbahaya dalam menjaga Demokrasi , dan sangat rawan membelokkan
jalannya demokrasi lokal, dengan hanya memanfaatkan kanal pribadinya, Dedi bisa langsung membangun opini tanpa melalui proses institusional.
Karna seluruh kebijakan yang dibiayai oleh APBD harus tunduk pada mekanisme perencanaan, pembahasan bersama DPRD, dan pengawasan berlapis. Jika semua kebijakan hanya diumumkan lewat media sosial, tanpa dasar hukum dan anggaran yang jelas, maka yang terjadi bukan efisiensi, tapi abuse of power.
Baca Juga:Dedi Mulyadi Harus Fokus Kerjakan Program, Bukan Bangun Citra Diri!
Rakyat mungkin terhibur. tapi pemerintahan bukan untuk menghibur, melainkan untuk melayani secara adil, transparan, dan akuntabel dan keberhasilan pemerintahan bukan diukur oleh Algoritma Konten tapi oleh aturan yang sudah ada sesuai undang undang .
“Karna kebijakan nya di ketahui masyarakat berdasar media sosial tanpa dasar hukum yang jelas dan info yang akurat terkait sebuah kebijakan tersebut sudah ada regulasi nya atau belum sudah melalui pembahasan matang,” kata Ujang.
“Belum dan apa dampak kedepannya secara keseluruhan dirasakan masyarakat Jabar atas kebijakan tersebut bukan dirasakan secara parsial atau personal personal karna tugas utama gubernur adalah mensejahtrakan semua rakyat yang di pimpin nya , sehingga kebijakan tersebut mudah di ukur dan diawasi pelaksanaan serta keberhasilan nya,” tambahnya.
Oleh sebab itu kedepan kebijakan kebijakan Gubernur Jabar Dedi mulyadi harus di ambil dan laksanakan harus melalui proses yang matang dengan di awali perencanaan , usulan dan pembahasan antara eksekutif dan legislatif.
Sehingga kebijakan tersebut bisa dirasakan dampak nya oleh semua pihak bukan parsial atau orang per orang dan dapat di awasi pelaksanaan nya sudah sesuai atau belum dengan perencanaan dan target yang di tentukan , sehingga kebijakan tersebut bisa dipertanggungjawabkan bersama oleh eksekutif dan legislatif. (Bas)







