Transformasi Pendidikan di Era Digital, Siswa Didorong Berpikir Kritis

Fondasi utama pendidikan dasar bukan sekadar kecerdasan teknologi, tetapi kemampuan berpikir kritis dan bersikap bijak terhadap arus informasi yang tak terbatas
Diskusi Transformasi Pendidikan di Era Digital. (Foto:Istimewa)

JuaraNews, Jakarta – Fondasi utama pendidikan dasar bukan sekadar kecerdasan teknologi, tetapi kemampuan berpikir kritis dan bersikap bijak terhadap arus informasi di era digital  yang tak terbatas.

Hal ini menjadi bahasan mengenai arah pendidikan di era kecerdasan buatan dan disrupsi digital pada Konferensi Pendidikan Indonesia (KPI) di Kantor Dinas Pendidikan Jakarta (15/5/2025).

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lingkar Daerah Belajar bersama dengan Dinas Pendidikan Jakarta ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, Menteri Komunikasi Digital, Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Najeela Shihab.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno memaparkan penguatan ekosistem pendidikan menjadi kunci dalam menjawab berbagai disrupsi, mulai dari krisis iklim hingga teknologi kecerdasan buatan (AI).

Baca Juga: Pemilihan Rektor UPI Bergejolak, Senat Akademik Tuding ada Konspirasi?

Pratikno mengingatkan agar “literasi digital dan kecakapan berpikir kritis dibangun sejak usia dini untuk mencegah anak menjadi korban arus informasi tanpa filter,” ucap Pratikno.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq menyambut pernyataan tersebut sebagai penguatan terhadap pendekatan lintas sektor dalam penyelenggaraan pendidikan.

“Kami ingin membangun partisipasi semesta artinya semua pihak terlibat di dalamnya. Kita sering menekankan bahwa keberhasilan program kementerian itu tidak bisa terlepas dari kolaborasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan juga kelompok masyarakat karena urusan pendidikan adalah tanggung jawab bersama’, tegasnya.

Pembelajaran Mendalam, Koding dan Kecerdasan Buatan di Tahun Ajaran Baru

Fajar juga menyoroti tantangan yang ada di era disrupsi digital dimana masyarakat Indonesia antusias menyambut perkembangan kecerdasan buatan namun tingkat literasi digital masih tergolong rendah.

Baca Juga: Program Pengiriman Siswa ke Barak Militer Tidak Memuat Informasi Jelas!

“Dalam konteks inilah kita melihat relevansi penerapan pembelajaran mendalam (deep learning) sebagai pendekatan pembelajaran di sekolah-sekolah. Pembelajaran mendalam itu membuat siswa untuk lebih berorientasi kepada kualitas pemahaman ketimbang kuantitas materi yang diajarkan, dan disitulah critical thinking siswa akan diasah,” jelasnya.

Fajar mengatakan pembelajaran mendalam yang akan diterapkan pada ajaran baru ini adalah bagian dari upaya besar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk menumbuhkan budaya berpikir kritis.

Selanjutnya, Kemendikdasmen juga mendorong pembelajaran koding dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) di sekolah yang akan diterapkan di ajaran baru sebagai mata pelajaran pilihan, yaitu bisa sebagai mata pelajaran terpisah atau terintegrasi atau bisa juga sebagai ekstrakurikuler.

“Intinya adalah pembelajaran koding dan kecerdasan buatan adalah mengajari anak-anak kita dengan computational thinking yaitu berpikir menggunakan data. Siswa dilatih untuk punya etika dan bertanggung jawab ketika menggunakan kecerdasan buatan,” ungkapnya.

Baca Juga: Ono Surono Protes Anggaran Media Kena Pangkas!

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid menekankan bahwa digitalisasi pendidikan dapat berperan sebagai penyeimbang terhadap dampak negatif penggunaan teknologi digital di kalangan anak-anak.

“Kita meyakini kalau sektor pendidikan ini terdigitalisasi, mereka malah menjadi pengguna digital yang lebih cerdas. Dengan kita biasakan untuk menggunakan digital dalam kerangka pendidikan, itu justru dapat mereduksi sisi negatifnya,” jelasnya.

Meutya juga menyoroti urgensi regulasi nasional yang mengatur usia minimal penggunaan media sosial dan perlunya kolaborasi lintas sektor agar kebijakan ini berdampak nyata di sekolah dan daerah.

“Sebanyak 48 % pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak berumur dibawah 18 tahun, dimana mereka tersesat perundungan, pornografi dan judi online. Ini yang membuat kita merasa bahwa kita harus membuat regulasi di tingkat pemerintah pusat dimana negara kita akan menerapkan penundaan usia dengan klasifikasi 13, 16 dan 18 tahun,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa langkah selanjutnya setelah peraturan ini keluar adalah pembatasan penggunaan telepon genggam di sekolah dan ia mengharapkan dukungan dari semua pihak agar kebijakan ini bisa terlaksana dengan baik. (Bas)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *