JuaraNews, Bandung – Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, kemarin, menunjukkan nilai tukar rupiah bergerak stagnan, masih betah bertengger di 13.333 per Dolar AS.
Bahkan, data valuta asing Bloomberg, menunjukkan nilai tukar rupiah sempat melemah 0,14 persen ke level 13.344 per dolar AS pada perdagangan pukul 09.33 WIB. Tak lama setelah sesi pembukaan, nilai tukar rupiah menyentuh level 13.343.
Nilai tersebut masih dengan sesi perdagangan sehari sebelumnya. Rupanya, surplus neraca pedagangan Indonesia pada Mei 2015 yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 950 Dolar AS tak mampu mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
BPS mencatat, surplus neraca perdagangan pada Mei 2015 dipicu sektor non-migas surplus 1,66 miliar Dolar AS. Namun, sektor migas justru defisit 710 juta Dolar AS. Kondisi ini seharusnya menjadi sentimen positif bagi nilai tukar rupiah, tapi itu justru tidak terjadi.
"Optimisme terhadap kondisi likuiditas Dolar AS dalam negeri seharusnya naik dengan surplus neraca perdagangan Mei. Tapi surplus itu lebih disebabkan oleh anjloknya impor dibandingkan perbaikan ekspor. Akibatnya, membangkitkan sentimen negatif terhadap perlambatan ekonomi," kata Ekonom PT Samuel Sekuritas Rangga Cipta seperti dikuti liputan6.com.
Rangga mengemukakan, ke depan, aksi antisipasi para investor menghadapi pertemuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan mengkaji kebijakan kenaikan suku bunga juga dapat menahan penguatan nilai tukar rupiah. "Rupiah berpeluang stagnan pada perdagangan hari ini," ungkap dia.
Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, sentimen negatif perlambatan ekonomi itu makin menekan rupiah karena banyak pelaku pasar melihat bahwa nilai tukar rupiah tidak akan terlalu kompetitif. Karena itu, sebagian besar pelaku pasar menyimpan dana mereka dalam bentuk mata uang yang lebih stabil.
Selain itu, ujar Enny, pelemahan rupiah juga disebabkan oleh pelaku pasar melihat kebijakan pemerintah belum mampu mendorong atau menjadi acuan bagi pebisnis. Akibatnya, sebagian besar pelaku usaha yang lebih memilih untuk menyimpan dananya di luar negeri. "Kondisi seperti ini menyebabkan Indonesia sulit mengharapkan devisa hasil ekspor masuk," tutur Enny. *
bar