free hit counter code Belajar dari Flu Spanyol 1918, Pemahaman Literasi dan Perubahan Perilaku Kunci Penanganan Pandemi - JuaraNews Inspirasi Semangat Muda web stats service from statcounter
Belajar dari Flu Spanyol 1918, Pemahaman Literasi dan Perubahan Perilaku Kunci Penanganan Pandemi
(bnpb.go.id) Penjual jamu keliling tahun 1920

Belajar dari Flu Spanyol 1918, Pemahaman Literasi dan Perubahan Perilaku Kunci Penanganan Pandemi

  • Minggu, 2 Agustus 2020 | 22:47:00 WIB
  • 0 Komentar

JuaraNews, Jakarta - Sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, MSi, mengingatkan pandemi covid-19 yang sedang melanda Indonesia dan sebagian besar negara di dunia tak jauh berbeda dengan Flu Spanyol pada 1918.

 

Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia saat itu juga memberikan himbauan kepada masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan, meliputi memakai masker, tinggal di rumah, dan menjaga kebersihan, layaknya anjuran WHO  untuk penanganan pandemi covid-19 saat ini.

 

Dalam menyampaikan himbauan itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukannya melalui berbagai upaya seperti melalui kampanye mobil kesehatan. Menurut Tri, hal tersebut lebih efektif dilakukan mengingat masih banyak keterbatasan saat itu.

 

“Secara rutin itu, berkeliling kota dan dia seolah-olah mengingatkan, bahwa, apa ini adalah penyakit yang sifatnya mematikan. Jjadi lebih baik kalau tidak perlu tinggal di rumah, tetap memakai masker, karena itu, dan juga terjagalah kebersihan. Itu yang disampaikan terus dan terus dan terus,” ujar Tri di Media Center Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Jakarta, Sabtu (1/8).

 

Selain melalui kampanye tersebut, Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan buku literasi berjudul “Lelara Influenza” (Penyakit Influenza), yang kemudian dialihbahasakan ke dalam cerita pewayangan oleh campur tangan dalang.

 

Sejarawan Publik, Kresno Brahmantyo, mengatakan, buku “Lelara Influenza” cukup populer, meski saat itu masyarakat belum banyak yang dapat membaca.

 

“Ada data yang menunjukkan bahwa tingkat peminjaman buku itu pada tahun 20 sampai 23 itu cukup signifikan. Tinggi, 3.000,” ujarnya.

 

Dalam buku terbitan Balai Pustaka tersebut dijelaskan tentang bagaimana influenza menurut gejala dan penanganannya. Beberapa kalimatnya juga menekankan tentang himbauan agar manusia tidak bertindak ceroboh.

 

"Berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu. Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh keluar rumah. Harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi,” kata Kresno.

 

Dalam hal ini, pemahanan serta literasi masyarakat akan bahaya pandemi sangat penting dan diutamakan. Itu akan mempengaruhi adanya perubahan perilaku masyarakat sehingga upaya penanganan akan lebih mudah dilakukan.

 

Beda Pandang Antara Pemerintah dan Masyarakat

Kendati penyampaian himbauan kesehatan dan penanganan pandemi Flu Spanyol 1918 sudah dilakukan, hal itu tidak menutup adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat.

 

Tri menyampaikan bahwa rata-rata masyarakat saat itu berkeyakinan bahwa wabah yang melanda berasal dari alam, kendati pemerintah berusaha meyakinkan bahwa hal itu berasal dari adanya transmisi dari pendatang.

 

“Mereka masyarakat melihat, bahwa sumber penyakit ini adalah dari alam. Dari debu, dari angin, dan sebagainya. Sementara pemerintah melihatnya, pihak pemerintah Belanda dalam hal ini ini adalah dari luar. Pendatang yang datang ke Indonesia itu membawa, atau carrier,” ujar Tri.

 

Adanya perbedaan pendapat yang membuat penanganan penyakit justru menjadi lambat tersebut kemudian juga memantik kepedulian para tokoh nasional yang akhirnya bergerak untuk perubahan, salah satunya adalah dr. Cipto Mangunkusumo dengan para siswa STOVIA dan munculnya mantri-mantri kesehatan.

 

Melalui gerakannya, imbauan penerapan protokol kesehatan digalakkan. Selain itu, tercetuslah beberapa upaya lainnya seperti pemanfaatan ramuan jamu tradisional untuk penanganan penyakit. Kemudian pelabuhan sebagai pintu masuk Hindia Belanda harus ditutup sementara dan dibatasi pergerakannya.

 

Beberapa rumah penyintas diberi tanda bendera kuning, dengan tujuan untuk mencegah adanya masyarakat yang datang dan berpotensi tertular dan beberapa langkah lain yang juga menimbulkan pro dan kontra.

 

Jika kembali melihat pada literasi sejarah Flu Spanyol 1918, Tri mengatakan, masyarakat dan Pemerintah Hindia Belanda atau Indonesia saat itu memang belum benar-benar siap.

 

Segala informasi mengenai pandemi yang masuk ke Hindia Belanda saat itu menjadi sempat tidak terlalu dihiraukan bahkan sampai akhirnya memicu perbedaan pendapat antara pemerintah dengan masyarakatnya.

 

Satu pelajaran penting yang kemudian dapat dipetik dari pandemi seabad silam, menurut Tri, adalah bahwa belajar dari literasi masa lalu menjadi penting untuk menangani masalah yang tidak jauh beda di masa sekarang maupun di kemudian hari. Dalam hal ini, penyamaan persepsi dan pemahaman menjadi kunci bagaimana pandemi dapat lebih mudah ditangani.

 

“Masalah lalu itu bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Jadi marilah kita melangkah dengan kearifan masa lalu,” kata Tri.

 

Sejalan dengan Tri, Kresno Brahmantyo juga menganggap, catatan atau rekaman kelam mengenai ‘pageblug’ hendaknya dapat dijadikan sebagai pembelajaran, baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Sebab, menurut Tri, setiap peristiwa atau bencana dapat berulang dan dibutuhkan solusi penanganan yang sama untuk ke depana.

 

“Mulailah kita mulai membuat rekaman (catatan). Supaya nanti ketika 10 atau 20 tahun yang akan datang kita punya data untuk menghadapi ini semua. Karena ini berulang, dan kelihatannya solusinya sama juga,” katanya.(*)

ayi

0 Komentar

Tinggalkan Komentar


Cancel reply

0 Komentar


Tidak ada komentar

Berita Lainnya


Legislator Minta Permasalah RKB Segera Diatasi
3 Raperda Prakarsa DPRD Jabar Tuntas Dibahas
Bey Target Swasembada Pangan di Jabar
Legislator Minta Regulasi PPDB Zonasi Dievaluasi
Komisi V Dorong Penerbitan Kepgub Upah Buruh

Editorial



    sponsored links