JuaraNews, Bandung – ArtSociates menyajikan pameran lukisan fotorealis duo Guntur Timur dan Mariam Sofrina yang diberi tajuk “On Slowness: Painting Displacement” dan dikuratori oleh Asmudjo J. Irianto di Lawangwangi Creative Space, Bandung.
Sebuah pameran karya-karya fotorealis Mariam Sofrina dan Guntur Timur yang menantang dominasi budaya visual digital yang serba cepat dan instan saat ini dengan ketekunan, akurasi dan praktik seni lukis yang membutuhkan proses dan waktu yang lama.
“Pameran ini bagi saya penuh nostalgia karena saya sudah mengenal Guntur Timur dan Mariam Sofrina sejak awal ArtSociates dibangun. Namun baru kali ini pameran duo seniman ini bisa dilaksanakan dengan penataan karya seperti di museum seni rupa setelah penantian bertahun-tahun karena proses mereka berkarya paling lama,” ujar Andonowati, Direktur ArtSociates, di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jumat (18/4/2025) petang.
Duapuluh lukisan foto-realis buah tangan Guntur Timur dan Mariam Sofrina yang dipamerkan di galeri Lawangwangi Creative Space mengajak pecinta seni untuk masuk ke ruang jeda dari mobilitas digital dalam hiruk pikuk keseharian manusia kontemporer dan modern. Para seniman mengajak kita ke ruang jeda yang memberi peluang rasa intim daripada kilatan informasi virtual melalui gawai-gawai elektronik.
Rasa intim pada lukisan foto-realis selanjutnya membaca kode-kode visual yang dibangun oleh lapisan-lapisan warna dan gradasinya serta tonal value hitam-putih pada objek-objek lukis di mana seniman menemukan tantangan mengolah gagasan artistik dalam membaca realitas sesuai sudut pandangnya terhadap lukisan foto-realis hari ini.
Guntur Timur menyajikan lukisan-lukisan foto-realis dengan tonal hitam-putih dengan objek-objek ‘ruang private’ yang jadi titik pengalaman personal seniman yang ditemuinya dalam jangkauan public territory di dataran Tiongkok, Pakistan dan Bandung Timur. Ruang private atau personal territory itulah yang kemudian ditetapkan oleh Guntur Timur sebagai ruang estetik yang akan dipertimbangkan menjadi pokok soal pada karya lukis foro-realis di mana gradasi dari putih ke hitam dikomposisikan sedemikian terampil hingga menyajikan kedalaman yang intim terhadap ruang, sudut pandang melihat objek lukis, titik sinar hingga bayang-bayangnya, serta suasana hangat dan dingin pada ruang tertentu. Guntur Timur menemukan tone abu-abu yang unik dari campuran cat minyak yang digunakannya sebagai material utama lukisan foto-realisnya pada pameran ini.
“Lukisan saya memang mencerap banyak persoalan politik, ekonomi, budaya dan banyak peristiwa lainnya yang menurut saya seperti negasi hitam dan putih; salah-benar dan lainnya. Lalu saya menemukan abu-abu yg dianggap netral, tetapi justru mendorong saya untuk mengeksplorasi ketegangan yang ada pada abu-abu itu dalam lukisan saya pada bidang objek yang di belakang (background) dan permukaan paling dekat (foreground),” kata Guntur.
Lukisan foto-realis karya Mariam Sofrina menyajikan keutuhan lanskap kota di Austria dan Jerman yang dikoleksinya menjadi pengalaman personal dengan warna, kedalaman serta tektur objek-objek yang dilukisanya. Beberapa lanskapnyang pilihndan dipotret oleh Mariam Sofrina memiliki nilai sejarah kelam kemanusiaan, khususnya terkait pembantaian etnis Yahudi.
Yang berbeda dari lukisan Guntur Timur, Mariam Sofrina menggunakan lapisan-lapisan warna sesuai dengan persepsi optis terhadap lanskap aslinya – praktik seni mimesis ditambah dengan gagasan estetik pada lukisan foto-realis objek lanskapnya. Ketekunan pada kalkulasi campuran warna pada setiap lapisan menuntut Mariam Sofrina fokus pada teknik melukis per bidang warna terhadap objek lukisannya.
Proses yang menghabiskan waktu yang lama ini menunjukan proses afeksi (istilah yang digunakan kurator pameran) di mana kondisi psikologis dan rasionalitas Mariam Sofrina memerlukan perhitungan yang akurat dalam membuat kedalam ruang pada lanskap, hingga muncul tekstur pada bidang lukisan yang jadi foreground-nya.
Asmudjo J. Irianto, kurator pameran ini, mencatat dalam kuratorial pameran bahwa, Setelah keterampilan mimesis hilang terkubur dalam abad pertengahan di Eropa, muncul kembali di era Renaisans. Kelahiran kembali era Klasik (Yunani), mendorong pergeseran besar dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, melahirkan rasionalisme dan humanisme. Itu sebabnya metode realis dalam seni lukis menjadi penting.
Penemuan perspektif linear, menciptakan kedalaman ilusi merupakan bagian dari cara penggambaran alam secara rasional—sebagaimana mata kita memandang dunia (oculocentrism). Terkait eksistensi gaya realis yang menekankan pentingnya gagasan pada seni lukis pada akhir abad ke-19, yaitu, gagasan estetika, seni lukis tidak mati, sebagaimana pernyataan Delaroche, seni lukis tetap hidup dengan mengambil rute yang berbeda, yaitu jalur ontologis melalui reduksi, dan menjadi paradigma seni lukis modern Barat. Dialektika gaya dalam seni lukis modern merupakan upaya reduksi agar seni lukis sampai pada esensinya.