Rabu, Mei 14, 2025

TERKINI

Monolog Kesaksian Nyai Apun Gencay Guncang Sejarah Cianjur

JuaraNews, Cianjur – Suara rintik hujan malam itu terdengar seperti bisikan masa lalu. Panggung terbuka di ALOHA Chill & Dine, Cianjur, perlahan menjadi altar kesaksian Nyai Apun Gencay.

Seorang perempuan berkebaya merah berdiri sendiri di hadapan ratusan penonton yang larut dalam suasana remang dan rembesan cahaya. Suaranya menggema seolah mewakili ratusan nyai yang hilang dari catatan sejarah.

‘Kesaksian Nyai Apun Gencay’ adalah monolog yang mengadaptasi novel Cinta, Kopi, dan Kekuasaan karya Saep Lukman. Jadi, bukan sekadar pementasan.

Baca Juga: Lukisan Foto-realis Guntur Timur dan Mariam Sofrina Dipamerkan di Lawangwangi Creative Space

Monolog ini adalah penggalian ingatan yang menyayat sekaligus menghidupkan. Pertunjukan Nyai Apun Gencay menyuarakan kembali tokoh-tokoh perempuan yang selama ini tercecer dalam lembaran sejarah kolonial.

Wina Rezky Agustina, dosen Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur memainkan peran Nyai ApunGencay dengan kedalaman rasa penuh eksotik dan menghunjam.

Tubuh perempuan lulusan pascasarjana Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung itu, bergerak dalam ritme emosi. Suaranya bergetar menahan perih, sesekali membuncah dalam keberanian.

Wida Waridah, penulis naskah, membuat monolog ini menjelma sebagai ritual kesadaran. Begitu pun sentuhan sutradara Rachman Sabur.

Monolog Nyai Apun Gencay bukan hanya seni, tapi perlawanan. Bukan sekadar panggung, namun altar kesaksian yang mengguncang sejarah Cianjur.

Rachman Sabur Sutradarai Kisah Apun Gencay

Rachman Sabur adalah sutradara kawakan pendiri Teater Payung Hitam yang sejak 1982 konsisten menggali bahasa tubuh, napas, dan simbol sebagai bahasa teater perlawanan.

Lahir di Bandung 12 September 1957, Rachman terkenal lewat karya-karya eksperimental. Seperti, ‘Kaspar dan Merah Bolong Putih Doblong Hitam, serta kiprahnya di panggung internasional.

Setelah pensiun dari ISBI Bandung, Rachman tetap aktif berkarya. Dalam perayaan 43 tahun ‘Payung Hitam’, dia menulis dan menyutradarai monolog ‘Wawancara dengan Mulyono’, sebuah satire absurd tentang identitas dan kuasa.

Kini, Rachman menggarap monolog ‘Kesaksian Nyai Apun Gencay, menafsirkan menjadi ruang tubuh dan sejarah perempuan dalam bayang kolonialisme.

Sementara itu, penulis novel Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay, Saep Lukman, tak dapat menyembunyikan rasa haru dan bangga. “Saya sangat tersentuh,” kata Saep Lukman.

Saep menyatakan, lebih dari 144 halaman novel ini berhasil menjelma dalam satu tubuh, satu suara, dan satu malam.

1 2

Related Posts